Monday, March 22, 2010

If I was a piece of furniture I would be...

At first thought, If I was a piece of furniture I would be that well-worn bolster pillow that no-one would want to get close with on first impression. But for those who worn the pillow, I'll be indispensable. At least until rationale took over and the voice saying, "It's unsanitary," grow stronger.

But that pic says everything I want to say. In one word. Damn.

Wednesday, March 10, 2010

The Spree

This, after 130K JPY for new place to live, 12K for lodging while in Hiroshima, and an estimate of 20K to go Hiroshima and back. That's not included this month rent, mobile phone, electricity, and health insurance, of about 25K. Expensive? You bet. 


Madness? Probably. Two live show tickets, Jamie Cullum and Kings of Convenience, only a day apart. And a new book. 

I dare you to guess the total expense.

Saturday, March 6, 2010

Tentang Buah

Ibu guru dulu bilang, buah dan sayuran adalah bagian dari empat sehat lima sempurna.  Biar tetap sehat, katanya. Vitamin dan serat baik untuk raga. Anehnya, biar sayuran semua dianggap setara, begitu tentang buah semua mau angkat bicara.

Biarlah, toh semua orang punya buah kesukaan masing-masing.

Karena lembut rasa dagingnya, ada yang cinta durian. Aromanya semerbak, rasanya memabukkan. Meski banyak dijual di jalanan, banyak pula yang hanya bisa memendam hasrat yang mengawang.

Tapi orang bule tak suka durian. Di kamar hotel mewah durian dilarang, sama seperti binatang piaraan. Katanya tak boleh membawa benda berbau tajam. Sebagian lain bilang kulitnya yang berduri bikin upaya tak sepadan. Sampai-sampai ada peribahasa menunggu keruntuhan durian.

Lalu ada yang bilang apel itu buah surga. Yang bikin terusirnya Adam dan Hawa, kena murka Yang Maha Kuasa. Manis, berair dan penuh gizi, tak heran banyak pula yang suka. Kadang-kadang biar singset makan satu hari cukup apel saja.

Dan lagi-lagi ada yang murka. Katanya itu buah dari Barat budayanya. Kalau kita cukuplah mangga saja. dibilang pula itu apel yang membuat Adam berjakun dan Hawa punya buah dada. Buah dada, sumber godaan para pria. Bikin naik turun buah adam saja.

Sementara ada yang tergila-gila dengan mangga. Emas warna dagingnya, lembut dan manis di lidah kita. Bagaimana tidak? Editorial Kompas tahun enamlima sampai menduga, mungkin bukan apel tapi manggalah si buah surga. Aromanya wangi tak terkira, manggalah buah tropis yang paling prima.

Tentu saja tak semua memuja mangga.  Buah musiman, mana bisa memuaskan dahaga sepanjang kala? Belum lagi seratnya yang melilit gigi. Kalau tidak hati-hati malah bikin repot sendiri.

Kasihan pula nasib tomat. Merah ranum nan menggoda, banyak orang mempertanyakan statusnya.
"Sayuran!" kata sebagian.
"Itu buah!" bela yang pendapatnya berlainan.

Tentu saja tomat tak sendiri. Ada cabai yang juga jadi anak tiri. Kadang mereka bersua, dan bersama garam, bawang, dan terasi berkomplot membuat orang menitikkan air mata.

Para pramuka berpendapat paling superior ya buah kelapa. Tak tanggung-tanggung, mereka kibarkan lambang tunas kelapa kemana-mana. Sambil hafalkan dwidarma dan dasadarma.

Mungkin tak hanya anak-anak yang tak suka pramuka, apalagi buah kelapa. Disuruh datang oleh pembina, uh malas tak terkira!

Lain lagi kisah buah jeruk. Jingga kulitnya, sedap dipandang mata. Harumnya bikin orang bernafas lega. Kini ruangan aroma jeruk jamak rasanya.

Tapi jeruk pun tak tanpa cela. Dituduh tak konsisten dengan buah sesaudara. Dibandingkan dengan jeruk nipis yang kecil masam, disandingkan dengan jeruk bali yang besar hambar.

Untung jeruk bali hatinya besar. Bilang kulitnya bisa dibikin mobil-mobilan dengan roda bundar.  Biar tak akurat yang penting tak bikin tangis anak-anak terus-terusan diumbar.

Begitulah jika para tukang buah berlaga. Tak ada yang bisa memuaskan segalanya. Tukang durian membenci tukang mangga, tukang jeruk dan tukang kelapa banyak kelainya.

Maka ketika saya datang ke perkumpulan lengkeng tanpa sengaja, tak kaget lagi banyak yang umbar kata-kata cela dan hina. Lengkeng, kecil buahnya, manis rasanya, rupanya hitam legam bijinya. Tak tampak berbahaya, tapi toh sama saja dengan buah lainnya.

Tidakkah ini membuat Anda bertanya, bagaimana pendapat buah itu sendiri antar sesama? Toh pans buah dan es shanghai segar tak terkira. Mungkin hanya tukang buahnya yang perlu ganti kacamata kuda.

Tapi jangan disangka ini metafora. Saya tak benci durian, apel atau mangga. Kalau saya diberi jeruk, tomat dan kelapa saya terima saja. Saya hanya sedang ingin semangka.

---
Gambar durian dari sini, lengkeng dari sini, sambel dari sini, mangga dari sini. gambar mangga oleh fir0002 sesuai lisensi GFDL
Saya baru saja mengecek kotak pesan suara saya, dan ternyata saya diajak ikut perkumpulan lengkeng lagi besok sore! Sheesh.

Thursday, March 4, 2010

On marking mistakes

So the plenary session was shameful. Anyone with half the intelligence of a feline will know that was disgraceful.

On the other hand, some say that the brouhaha is a forward step than the sleeping House. The dumb and blind yea-sayer.

Surely there's a middle ground?

Also, this is today's question: aren't we the one who puts them there to begin with? So when we shame them, in effect, are we not shaming out our own past incapability to make an informed decision?

Seeing all this, then vowing ignorance in future election will be one of the most dangerous thing to choose.

Admittedly, ignorance is the easy way out. it also require no hard work on our part.

But where should we start to disentangle the messiness that is Indonesian politics? Let's know everything that is there to know about. Let's find out everything about this Century bailout. Then, let's make a decision of our own.

Let's not support Sri Mulyani or Boediono simply because a lot of people say so. Or, god forbid, because that’s what foreign press says. On the other hand, let's not hate and debase them just because some people shout bailout is evil on the top of their lungs. Let's decide for ourselves.

We often argue that the people, the grassroots level people are capable of making a sound and rational decision. We are those people. If we say we are smart and rational, let's act like it.

We shall mark those who can perform, and those who fail to deliver in today's Senayan so that we don't make the same mistake twice.

Decision by elimination process. it sometimes is the best guide to determine the best estimate. Also, this way we shall not be daunted by the sheer number of candidates come the next election time. Or by the glossy blurbs and TV spots.

Let's also be optimist. What are the chances that we can't find a handful of men and women truly worthy of our votes in the future? When we have 229.965.000 of people, even the smallest possibility may result in tangible number.

And come 2014, let's not forget everything that has unfolded.

Tuesday, March 2, 2010

Kalau saja Hitler..

Kalau Hitler mirip saya, maka tak mungkin banyak orang menderita. Karena waktu diberitahu total pengeluaran biaya perang maka dia akan balik melotot, "BERAPA?"

Kalau Hitler mirip saya, mungkin lebih banyak warga Yahudi yang tidak disiksa. Terutama karena saya tak pernah bisa membedakan yang Jawa dan yang Sunda. Apalagi rambut pirang dan kulit terang? Bagi saya mirip semua.

Kalau Hitler mirip saya, mungkin perang dunia tak perlu ada. Kalau saya diajak memperluas tahta, saya tolak saja, toh tak perlu Polandia kalau sudah punya tanah Austria.

Kalau Hitler mirip saya, tak perlu ada ide kreasi ras adidaya. Apalagi ras sendiri, karena lebih sering saya frustasi dengan sifat budaya sendiri. Tak malu-malu kalau tak tepat waktu, tapi begitu ada mau, bicara tak bertuju.

Kalau Hitler mirip saya, mungkin setelah mati jasadnya tak jadi rebutan di mana-mana. Karena kalau Hitler mirip saya, dia tak banyak beda dengan orang biasa.

----------------------------------------------------------------------------------------------------
Anda mungkin suka juga: Aku bayangkan Indonesia jadi adidaya