Tuesday, December 30, 2014

Risalah Kelas Alumni PM: Tips Wawancara

Harap maklum kalau niat posting rangkuman risalah kelas alumni PM jadi tertunda, karena ternyata mengorek-orek kotak surat yang bertumpuk itu suka perlu niat kuat. Tapi setelah yang lalu risalah kelas CV dan menulis perjalanan, berikut risalah kelas latihan wawancara yang diadakan setelahnya:


From: Masyhur Hilmy
Subject: [alumnipm] Kelas AlumniPM Interview (Review)
Sent: Wed, Feb 19, 2014 11:15:58 AM 

Ketika saya datang untuk kelas alumni PM minggu lalu, seperti biasa sudah ada Mesa yang hadir, bahkan ketika saya sudah berangkat lebih awal. Tapi tak apalah, toh saya tetap bisa ikut berbesar hati ketika Pak Taufiq mengapresiasi kami yang datang sebelum sesinya dibuka--sembari memperingatkan kami untuk jangan pernah datang terlambat untuk interview, apapun alasannya (kecuali kalau kiamat datang, mungkin interview kerja kita akan diganti peradilan yang lebih mendesak).

Dari kelas alumni ini ada beberapa takeaway points. Dan takeaway point pertama saya adalah;

1. Datang tepat waktu.

Nasihat untuk datang tepat waktu tentu adalah nasihat klise--bahkan mungkin kita sendiri sering memberikannya ke siswa dan guru lain ketika di penempatan, tapi ketika nasihat yang sama diberikan ke kita, apakah kita sudah menerapkannya atau sekadar meloloskannya dari telinga kiri ke telinga kanan? 

Pada intinya, banyak hal dari sesi ini yang sebetulnya adalah penyegaran dari banyak hal yang sudah diberi tahu dan ditulis oleh banyak orang, tapi belum tentu diterapkan. Yah kalau kitab suci saja isinya perlu diingatkan setidaknya seminggu sekali, mungkin hal-hal yang lebih remeh-temeh macam tips dan etiket interview ini harus diulang-ulang lebih sering lagi supaya bisa dihayati.

Untungnya, tips dan etiket ini tidak sepanjang kitab suci jadi reviewnya pun tidak panjang-panjang. Apalagi karena latihan interviewnya baru berlangsung setelah jam 2. 

Di awal sesi, kelas dibuka dengan review CV peserta yang tidak hadir minggu lalu (Beryl dan Kristia yang CVnya bagus dan ringkas, hanya 1 halaman), serta CV peserta yang sudah dipermak setelah diberi masukan (Mesa). Dari sesi CV lanjutan ini yang bisa diambil adalah, 

2. Perkuat CV.

Yang ditekankan lagi oleh Pak Taufiq adalah pentingnya summary di CV. Dan karena CV akan mengarahkan material wawancara, maka penting sekali untuk tidak memasukkan yang aneh-aneh di CV, seperti interest yang tidak relevan. Boleh sih memasukkan "Interest", tapi usahakanlah interest yang memberikan tambahan jualan diri. Misalnya, interest lari maraton bisa menunjukkan pribadi yang gigih, tapi interest karaoke lagu-lagu hits JKT48 mungkin malah memberi kesan negatif bagi pewawancara yang antipati pada JKT48 (mungkin dia fans puritan AKB48).

Penguatan CV ini juga penting, apalagi kalau kebetulan alumni PM berombongan mendaftar untuk posisi yang sama--seperti pengalaman yang diceritakan Beryl, maka kita harus bisa mengolah CV kita untuk tetap menarik perhatian HR dibandingkan teman-teman PM lainnya.

3. Gunakan summary untuk memperkenalkan diri.

Di awal wawancara, si pewawancara bisa meminta kita untuk menceritakan tentang diri kita. Tapi apa yang harus kita ceritakan? Sebagian besar orang akan menggunakan frasa-frasa klise ("I'm a people person ..." dll) tapi sebetulnya kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk meng-highlight kekuatan diri kita yang paling menjual. Paling enak sih kalau kita sudah tahu apa yang mau kita jawab, dan itu berarti datang ke wawancara sudah berpikir dan mempersiapkan diri buat pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.

4. Jawab pertanyaan dengan STAR.

Di sini saya merasa kena karma, karena setelah 7 tahun belajar astronomi masih saja berurusan dengan bintang. Yah paling tidak saya tidak harus menjelaskan tentang limit massa Chandrasekhar, walaupun mengingat-ingat situasi yang sudah lewat dan menceritakannya lagi dalam format STAR sebetulnya tidak mudah juga. 

Tapi, ini penting untuk dilakukan, karena jawaban yang berputar-putar tanpa STAR hanya akan mengundang pertanyaan lanjutan untuk menggali STAR yang sebenarnya. Begitu pula dengan cerita STAR yang tidak lengkap. Selain itu, ada juga 3 kelompok jawaban yang kurang memberi gambaran nyata tentang kompetensi kita,
a. Jawaban dengan vague statements, seperti menggunakan kata "always", "usually", "I believe", atau menggunakan kata ganti majemuk "kami" alih-alih "saya". 
b. Jawaban yang sebenarnya opini, seperti "In my opinion ..." atau "I think ..."
c. Jawaban dengan situasi yang belum terjadi "Saya akan ...", "Saya ingin ...", "Saya hendak ..."

5. Gunakan selalu kata-kata positif.

Apalagi kalau ditanya "What's the worst failure of your life?"/"Pernahkah membuat keputusan yang ternyata salah?"

6. Tarik benang merah.

Apalagi buat yang pengalamannya ga nyambung, habis dari perikanan, trus IM. Kalau begini jangan melulu IMnya yang dijual, tapi tarik kompetensi apa sih yang dikembangkan di IM yang juga berguna di posisi yang kita lamar? Pak Taufiq menyarankan agar kita menyiapkan success stories (dalam STAR!) yang terkait dengan 
- kemampuan leadership
- analytical skill
- teamwork
- communication.
(Saatnya membuka file Self Assessment yang dikumpulkan pas OPP kali ya.)

Pak Taufiq bilang kalau prinsip yang dipegang pewawancara adalah "Past behavior predicts future behavior". Ini sebabnya success stories untuk menonjolkan kompetensi dan kata-kata positif itu penting. Dengan struktur STAR pewawancara akan lebih mudah menangkap cerita kita.

7. Perhatikan gestur tubuh.

Contoh yang baik adalah Ria yang banyak senyum sehingga kelihatan jadi tipe-tipe pekerja yang cocok untuk NGO. Walaupun kebanyakan senyum juga pasti akan mengundang pertanyaan, "Kok senyum terus sih?" 

Posisi tangan yang baik itu jangan disembunyikan di bawah meja, maupun disilangkan di depan dada. Kesannya menutup diri dan ga percaya jadinya. 

Usahakanlah kontak mata yang pantas, jangan sampai tidak menatap matanya sama sekali. Tapi kalau sembari bicara kita menatap tengah dahi pewawancara, itu seperti arah tatapan mata atasan ke bawahan. Area wajah pewawancara yang berterima untuk ditatap ya daerah mata ke bawah hingga ke leher saja. Kalau sampai ujung kaki ditatap juga tentu jadinya juga aneh.

Di sini Pak Taufiq memberi contoh kalau pewawancara handal bisa tahu kalau yang diwawancarai membual dalam menjawab, hanya dari mata. Begitu yang diwawancara pandangan matanya ke kanan atas, itu berarti ia mengakses bagian otak yang berfungsi kreatif untuk menambah-nambahi informasi. (Ia menampilkan cuplikan film yang judulnya The Negotiator yang memberi contoh bagaimana tatapan mata ini bisa dibaca). Yang saya tidak yakin adalah interpretasi menatap ke bawah yang menurut film itu berarti si pembicara sedang menggali memori, tapi menurut Gordon & Fleisher (hal 115-116 Effective Interviewing and Interrogation Techniques, 2nd ed. 2006) itu berarti "the person cannot recall information". Intinya ga usah bohong aja kali ya, jawab sejujurnya dengan tenang sampai wawancaranya berakhir.

Kalau sudah berakhir, hor--eh? Saya bisa bertanya balik?

8. Jangan lupa bertanya.

Kalau otak sudah terasa diperas kering, tapi ingin menunjukkan minat, yang paling gampang sih dengan pertanyaan-pertanyaan kalengan (ini adalah terjemahan yang terlalu harafiah dari frasa canned questions). Contoh dari Pak Taufiq yang bisa digunakan,
- What are the company's expectation for this post?
pertanyaan ini tidak bisa dipakai kalau ketika wawancara sudah dijelaskan. Nanti ketahuan kalau pas dijelaskan malah ga merhatiin.
- Considering current economic climate, what's the corporation's strategy?
Sepertinya kalau bertanya ini harus siap-siap dengan jawaban yang teknis juga.
- Bagaimanakah continuous improvement menjadi budaya di perusahaan ini?

Dan kalau sudah benar-benar selesai sih ya tinggal berharap saja lah ya hasilnya baik. Kalau mau sedekah ke anak-anak yatim supaya dapat karma baik dari perilaku altruistis ya silakan saja. Tapi kalau sudah sedekah dan ga tembus wawancaranya ya jangan lalu salahkan anak yatimnya ya. Kasihan, hidup mereka udah berat. 

----

Dan kelas Alumni PM pun ditutup. Delapan ayat saja, dengan sekelumit penjelasan yang mudah-mudahan berguna. Terima kasih buat yang datang dan sharing pengalaman dan contoh CV bagus, terutama Beryl dan Kristia. Terima kasih buat yang mau ngasih contekan takeaway points (Vany). Terima kasih juga buat Bu Evi dan Pak Taufiq yang memfasilitasi kelas ini.

Ayo, kelas Alumni PM dari Surabaya dan Yogya, ditunggu sharingnya ya ;)

Salam,
Masyhur 

Wednesday, December 17, 2014

Are you sure you want to have a child now?

Declare yourself a pessimist and watch people instantly dismiss your suggestion that they should defer having children. And that is as best as you'll get for a response, because the other options are getting scoffed at, or finding yourself taking a defensive stance as they go--incredibly--on the offensive.

"Why, it's not like you even plan to get married in this decade, so why should I listen to you? And really, when will you get married? Are you sure you don't want me to introduce me to a lovely young lady that I'm sure will take a good care to your smug pretentiousness so we will all finally be able to get going with our lives in peace. You know, she's also a lecturer in a reputable university, and she comes from a good family, too. She's religious, and crosses all her t's and dots all her i's and never confuses colonoscopy with cosmology. And did you know her brother is going to be the youngest university chancellor soon?"

You know the drill.

And you'll regret of bringing the topic up in the first place.

But really, if you are a pessimist, you could rightfully espouse the view that people should defer having children. The world is a terrible place, with men killing innocent men or men subjecting other men to heinous torture, or killing children, or subjecting minorities to subjugation or destroying the environment and tradition and history and culture and just generally fuck the world up.

It is a terrible place and you can't wait to bring an extra person to share the hopelessness of it all? Are you out of your mind? Will somEBODY THINK OF THE CHILDREN?

Ahem.

The point was, there's just so much hurt and hate that you'd have to be a blind optimist to think that you are giving the best world to your children and your children's children.

So allow me to help.

I would like to argue that even for an optimist, it makes perfect sense to delay having children as much as possible. Trust me, I'm an optimist, too (and could you please stop with the laughing? I can really be an optimist, too, you know. I am, honestly!).

If you're not an optimist, let me tell you how easy it is to become one. We're living in the golden age of science, when new discoveries are made every other day, and we're venturing uncharted territories of space. Comet landing! New Horizon soon to explore Pluto! Voyager goes out of our solar system to the unknown interstellar realm beyond! All this alone would boggle the mind of even Newton had somebody traveled backward in time to tell him the things we achieved in the twenty first century.

And that's not everything, too. More people are literate, ever. More people are getting out of poverty, more people live longer, too. An average young man in 14th century England wouldn't dream of being able to ride a jet, flying him to the Caribbean to escape the dreary, dreary winter, but this is not unthinkable to do so now.

When you stopped to take a look at the palace of the Japanese emperor, you'll soon find that you are richer than even the most powerful king of the land in the medieval era. Did the emperor have central heating? Did his highness have plumbing and air conditioning? Did the grandchild of the Sun god sleep on a spring bed? No, no, and no.

The inexorable march of time has delivered countless improvements to human lives. And for the most part, even the unwashed mass are benefiting from this.

But see now, if you insist on having children, right. Fucking. Now. don't you think your children will miss out on progress that they, too, would have been able to experience if they were born five or fifteen years later? This could also potentially be important if on the later stage of their live there's a miracle drug that proves to be a panacea to nearly all of the chronic illnesses that is the hallmark of our time. Will it not be the best life possible for them, then?

Unless if all you care about is *your* own gain, and not your children's potential gains in the future, then by all means, be my guest.

So listen to me, and promise me you'll try to think it through? It's for your children, too, you know.

For their future.

Tuesday, December 9, 2014

Ini adalah waktu-waktu sendu

Ini adalah hari-hari suram, ketika malam-malam panjang membawa pertanyaan-pertanyaan yang merangsek pikiran tenang. Pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan, dan jalan-jalan yang bersimpangan bercabang-cabang.

Tiap-tiap cabang jalan memanggil lantang, menawarkan petualangan-petualangan menantang. Tapi tiap cabang jalan juga berkesan seram, macam malam tanpa dian. Langkahku menjadi pelan. Lalu tertahan.

***

Ini adalah masa-masa kelabu, ketika tanya-tanya ragu tentang suku datang beregu. Belum lagi ragu itu berlalu, tanya-tanya baru berkedok paras lugu menuntut tahu pada apa hidupku berhulu.

Siapa aku? Adakah Indonesia di dadaku? Siapa aku? Tuhan manakah tempatku berserah kalbu?

Tahun sudah hendak menjelang baru, pikirmu tetap terperangkap wasangka kaku.

Baik jika begitu, maka ini waktu meramu perjalanan arungi laut biru, dan daki punggung-punggung gunung hingga nafas menderu-deru. Tempat angin berhembus syahdu.

***

Tapi siapa hendak menjadi kawan untuk berkelana? Kawan-kawan lama terikat kerja, terkadang kesulitan waktu pula untuk hanya sekadar berjumpa. Cakap dan wicara kami semua sering tak lagi ada di lembar yang sama, dengan bahasa yang kadang tercemar bisa berbahaya.

Ini adalah saat-saat nestapa, ketika asa menjadi langka. Gamang dengan kemampuan bicara yang semenjana. Bimbang menentukan kecakapan mana hendak ditempa.

***

Ini adalah waktu-waktu sendu.

Tuesday, October 28, 2014

Risalah Kumpul Alumni PM: Menulis Perjalanan

Saya tidak pernah berangan-angan hidup di Jakarta, lha wong suka sama kotanya saja tidak. Tapi usai penempatan Indonesia Mengajar, saya mendapati diri saya teronggok di Jakarta. Beruntungnya, di kota ini ada banyak kegiatan yang bisa dicari, termasuk kumpul-kumpul alumni pengajar muda. 

Salah satu kegiatan yang digagas di bulan Februari adalah bincang-bincang dengan Agustinus Wibowo, penulis/penjelajah yang sudah menghasilkan tiga buku: Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Ketika saya datang ke keramaian ini, saya belum familiar dengan karyanya, dan datang utamanya karena ingin ramai-ramai saja. Tapi saya pulang dengan kepala sarat muatan, plus rasa penasaran untuk membaca buku-bukunya. Catatan dari sesi tersebut waktu itu saya unggah ke milis alumni PM, yang sekarang saya unggah ulang di sini:



From: Masyhur Hilmy
To: <alumnipm@yahoogroups.com>; 
Subject: [alumnipm] Sharing dengan Agustinus Wibowo (Review) 
Sent: Thu, Feb 9, 2014 8:59:58 PM 

Dengan risiko kelihatan banget kurang acaranya (nongol di banyak DA, kelas Alumni, bikin-bikin review, harap maklum aja, PM baru pulang dari penempatan), saya mau menulis review sharing Mas Agustinus kemarin. Jadwalnya yang diiklankan memang hanya sampai jam 12, tapi ternyata baru berakhir hampir jam satu. Tapi hampir ga berasa lama karena banyak yang disampaikan, kata-kata masnya dan yang dari slidenya banyak yang tweetable banget tapi susah buat ditweet karena sinyalnya jelek (apa hp saya aja?), dan banyak camilan (Yay Mbak Cella!).

Review ini panjangnya 1666 kata, jadi kalau teman-teman kecepatan bacanya setara dengan siswa kelas 5 SD (KD 3.2 Menemukan gagasan utama suatu teks yang dibaca dengan kecepatan 75 kata per menit), kira-kira teman-teman akan perlu 23 menit. Kalau bisa baca sampai selesai, menemukan gagasan utamanya dengan waktu di bawah itu, saya ucapkan selamat! Anda memang layak sudah tidak lagi duduk di kelas 5 SD. Kalau ternyata perlu lebih lama yaaaaaa silakan introspeksi sendiri :)

Pas acara berlangsung saya juga lihat ada Taci muter-muterin laptop di dekat Mas Agustinus yang webcamnya nyala, jadi mungkin ada arsip sharing kemarin dalam bentuk gambar bergerak sebetulnya. Yang jelas ada adalah arsip dalam bentuk livetwitnya Mbak Shally. Jadi saya mau nambahin yang ditwit Mbak Shally aja sebenernya. Anggap aja ini livetwitnya @shallypristine, chirpified with commentary. 
Tuips.. Sy mo livetwit sharing mas @avgustin88 bareng alumni @pengajarmuda yaa. Hashtagnya #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
1. Tulisan perjalanan adl genre yg sdh sangat tua, memengaruhi sejarah. Misal: Marcopolo, Ibn Batutah #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
Sejarah bangsa kita tidak cuma berawal dari penjajahan, tapi juga penjelajahan. Karena Marco Polo menulis tentang rempah-rempah di kepulauan nusantaralah bangsa Eropa datang ke nusantara, sementara Colombus berlayar mencari India. Saya tidak tahu apakah Mas Agustinus seorang apologis kolonialisme, tapi bisa dilihat logikanya menarik untuk diulik.

Tweetable quote yang lain: Bangsa yang besar adalah bangsa-bangsa yang melakukan penjelajahan dan menuliskannya.
2. Zaman skrg hampir gada tpt yg blm dikunjungi org. Jd kl mau bikin tulisan perjalanan, baiknya yg personal #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
Marco Polo boleh aja sekadar menuliskan ada apa di Jalur Sutera, karena di abad ke-13 memang belum ada Wikipedia. Sekarang sudah ada Wikipedia, jadi kalau hanya menuliskan ada apa di Kashmir, nilai tambah tulisannya jadi minim. Inilah kenapa ia menyarankan tulisan perjalanan baiknya personal.
3. #MenulisPerjalanan bs menggunakan banyak cara, misalnya jurnalisme sastrawi dan nonfiksi kreatif
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

4. Mas @avgustin88 sharing ttg nonfiksi kreatif. "nonfiksi" ky bosen, tegang. Krn diramu dg imajinasi, jd kreatif n beda #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
5. Komponen nonfiksi kreatif: gaya suara, perspektif, fakta, imajinasi. Cerita jd beda tp semuanya benar. #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

6. Cerita=alat utk menyampaikan pesan. Beda dgn berita. #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

7. Kontrak dg pembaca buku nonfiksi kreatif: harus asyik dibaca sekaligus benar. #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

8. Jgn langgar kontrak dg pembaca. Kl memoar ya nonfiksi. Novel br boleh memasukkan unsur fiksi. Cth: Three Cups of Tea #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

Di fiksi, cerita harus menarik. Di non-fiksi, harus berdasar fakta. Non-fiksi kreatif berarti tetap berdasar fakta, penulis tidak boleh menambah-nambahi. Yang ada di kutipan langsung harus yang benar-benar diucapkan. Tapi penulis boleh menyunting (baca: memangkas) agar tulisan lebih enak dibaca. Three Cups of Tea jelas adalah contoh yang tidak boleh ditiru siapapun yang ingin menulis non-fiksi kreatif.
9. Perjalanan yg baik: Traveling w/ purpose, komunikasi, observasi, riset, sudut pandang baru, lbh dr destinasi, terbuka #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

10. (Contd) tulisan perrjalanan yg baik jg harus jujur, sampaikan jg soal emosi. #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
Good writings come only from good travels. Lalu apakah good travel itu? Sembilan komponen utama ada di dua tuit di atas.
11. Sumber ide: mengaitkan tulisan dg pembaca, misal kodok. Apakah kita harus mencium byk kodok utk bertemu dg pangeran? #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
12. Sumber ide: write what you know, write what you like. Cari bigger picture dr man from the street #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

Kadang-kadang kita ketemu pribadi yang menarik untuk ditulis karena unik. Tapi, buat agar tulisan kita tentangnya tetap beresonansi dengan pembaca. Ketika Hadza diulas di majalah National Geographic, misalnya, sang penulis mengontraskan kehidupan mereka yang menjanjikan kebebasan, tanpa terkekang pekerjaan 9-to-5, tanpa terkekang cicilan, atasan, pakaian. Mau kentut sambil jalan juga terserah. Pembaca yang hidup di kota dengan pekerjaan 9-to-5 yang tertekan oleh atasan tapi bertahan demi cicilan macam-macam, termasuk pakaian yang bikin susah kentut sambil jalan akan dengan sangat mudah menarik kontras antara dirinya dengan orang-orang Hadza.
13. Observasi: pakai alat bantu, 5w+1h, wawancara, riset. #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
Di sini mungkin kita bisa belajar dari orang-orang desa yang banyak kepo ketika di penempatan, karena kata masnya juga, kepo is your best friend. Tanpa kepo dan interaksi, nanti jadinya tulisan kontemplasi semua. Lah ini mau bikin tulisan buat orang lain apa sekadar buku harian? 

Tapi buku harian bukan tidak penting. Buku harian bisa menjadi bahan pendukung riset, apa lagi ketika kita ingin menuliskan perjalanan yang sudah selesai beberapa tahun yang lalu. Tanpa buku harian, kita tidak akan ingat bahwa di training camp PM V Abah Iwan pernah bilang kalau, "Nyaho cantang teu ngarti, ngarti cantang teu bisa, bisa cantang teu tuman." Iya, saya tau kok, males banget ih nulis buku harian. Tapi kalau mau jadi penulis yang baik dan latihan nulis buku harian aja ga bisa, gimana bakal kuat rewrite draft sampai 22 kali kayak yang dilakukan Mas Agustin?
14. Menuliskan perjalanan juga adalah sebuah perjalanan. #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

Dari titik ini masnya mulai bergerak ke hal-hal yang lebih teknis tentang penulisan. Ia bilang, sebagai penulis, ia (dan kita juga lah) akan banyak menabrak tembok-tembok sebelum akhirnya keluar tulisan yang bagus dari labirin pikiran. Tulisannya akan banyak memarnya, karena banyak menabrak tembok (ini adalah contoh mencampuradukkan metafora yang sebetulnya harus dihindari lho). Tembok-tembok yang ada, akhirnya terkait dengan struktur tulisan:

I. Pembukaan
15. Buat pembukaan yg menarik. Hindari yg biasa digunakan. Misal: cuaca, waktu, transportasi yg gak berhubungan sm alur #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014

Pembukaan sebaiknya memberi petunjuk tentang isi tulisannya. Jangan dibuka dengan:
- Matahari bersinar cerah .... (atau sebaliknya, "Mendung menggelayuti kota ...." terlalu biasa lah dibuka pake cuaca.)
- pada tanggal 28 Desember jam 6 pagi saya ....
- Pesawat mendarat di ... / Angkot berjalan dari ... (kecuali mungkin kalau memang tulisannya adalah tentang si pesawat itu atau angkot itu)

Yang ini bukan dari masnya, tapi contoh-contoh pembukaan bagus ada di banyak buku fiksi dan non fiksi. Salah satu favorit saya adalah pembukaannya Jesse Bering:
"God came from an egg. At least, that's how He came to me. Don't get me wrong, it was a very fancy egg. More specifically, it was an ersatz Faberge egg decorated with colorful scenes from the Orient."

Tapi bagi yang sibuk dan tidak sempat baca banyak buku, jangan kuatir, ada internet untuk membantumu mencari inspirasi! Ada banyak pembukaan keren di Tumblrnya Kick-ass Lede http://kickassledes.tumblr.com/ 
16. Show. Don't tell. Caranya: buat kalimat jd aktif. Hindari kata sifat. Deskripsikan. #MenulisPerjalanan
— shally pristine (@shallypristine) February 8, 2014
Kalimat yang aktif juga bisa membangkitkan imajinasi pembaca. Bandingkan:
- Pintu itu terbuka.
versus
- Seseorang, entah siapa, telah membuka pintu itu.
Di nonfiksi kreatif, Anda bisa memanfaatkan ketidak tahuan Anda untuk menciptakan imajinasi.

Hindari kata sifat. Kalau udah kata sifat dipakai, pembaca tinggal "Iya deh, gue percaya aja rumahnya indah/jelek/luas/besar/tinggi." Sementara kalau dijelaskan, pembaca bisa membayangkan sendiri. Di contoh Jesse Bering di atas, ia tidak berhenti begitu kata sifat dipakai (fancy), tapi ia mendeskripsikan telur macam apa sih yang menetaskan Tuhan (Faberge eggnya kayak apa).

II. Isi

Lho twitnya Mbak Shally udah abis? Mbak, masnya baru juga separo jalan ngomongnya di sini. Yaaah.

Tapi ya sudahlah, karena struktur dan alur tulisan ini udah terbentuk, maka tinggal dilanjutkan. Tulisan non fiksi pun baik juga kalau pakai alur seperti yang dipakai oleh cerita fiksi (Conflict-Climax-Denouement/Resolution). Plotnya bisa flashback, bisa linear. Cerita juga bisa berbingkai, seperti kisah 1001 malam. 

Tulisan yang berbobot premisnya jelas. Dan premis yang jelas akan membantu membuat tulisan koheren ketika penulis punya banyak tema yang ingin disampaikan. 

Di sini Masnya mewanti-wanti agar penulis nonfiksi kreatif tidak membebani tulisannya dengan pesan moral. Ini bukan kisah dongeng yang semua orang baik melulu atau buruk melulu. Ini bukan juga sinetron, yang baik keterlaluan baiknya, yang jahat pun biar taubatan nasuha ga bakal lolos dari neraka. Masnya bilang, "Berikan ruang pada karakter untuk jadi manusiawi," (mungkin ini bisa digunakan juga ketika menulis tentang local champion? Jangan saking positifnya kita lalu tulisan kita menjadi mendewakannya. Kecuali kalau local champion-nya dewa lokal yang dipuja sih. Tapi kalau dewa lokal ya menuliskannya ya tadi, jangan dibebani dengan pesan moral, apalagi ngotot dengan perspektif monoteisme.)

Ketika menulis, hindarilah generalisasi ("Semua orang pasti tahu ...."/"Siapa yang tidak tahu ...."), metafora yang buruk ("Tawa perempuan itu dalam dan serak, seperti suara anjing yang mau muntah saat diare."/"Dia tinggi seperti pohon, seratus delapan puluh tiga sentimeter."), menulis yang berbunga-bunga, dan frase-frase klise. Ingat juga bahwa dialog tidak sama dengan percakapan. Dialog adalah percakapan yang telah disaring.

Kadang, diam adalah emas. Kita bisa meniru komik yang memberikan ruang kosong untuk diisi pembacanya sendiri dengan imajinasi mereka. Di slide ini Masnya menampilkan empat gambar dari komiknya Guy Delisle:


Hal yang sama bisa digunakan dengan tulisan. Beri ruang kosong antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain dan biarkan pembaca mengisi sendiri ruang kosong itu. 

Terakhir, seimbangkanlah antara narasi, informasi, dan kontemplasi.

III. Penutup. 

Ada macam-macam penutup yang bisa digunakan, baik eksplisit, implisit, twist (biasa buat horor), melihat ke masa depan (seperti Harry Potter), gantung (sering ditemui di cerpen), ataupun penutup full circle. Untuk penutup full circle, penutupnya akan mengulangi kata-kata inti dari paragraf pembukanya.

Dan demikianlah sebagian besar yang dibagikan kemarin. Setelah materinya selesai, ada latihan dengan menggunakan dua contoh tulisan dari blog PM (yang hadir diminta mencari tahu hal-hal yang bisa ditingkatkan dari tulisan itu), serta satu contoh tulisan dari America's Best Travel Writings yang berjudul A Shared Plate

Saya membayangkan kalau Mas Agustinus baca review saya ini dia akan berkata kalau tulisan ini adalah tipikal jurnalisme, saya memasukkan semua catatan saya ke dalam tulisan ini. Untuk standar non-fiksi kreatif, jelas ini ga kreatif-kreatif amat, karena tulisan ini agustinus-sentris. Anggap saja ini tembok yang sedang sengaja saya benturkan, sekaligus ajakan untuk membantu membobol tembok ataupun memperbaiki tembok-tembok yang saya hantam. Yuk silakan ditambahkan atau dikurangi.

Salam,
Masyhur

Sunday, October 26, 2014

Risalah Kelas Alumni PM: Klinik CV

Di bulan Februari 2014, usai dari penugasan Indonesia Mengajar, saya beberapa kali ikut Kelas Alumni Pengajar Muda. Isinya? Macam-macam, salah satunya adalah sesi dengan praktisi HR. Untuk pengarsipan saya sendiri, saya akan mengunggah beberapa catatan tersebut di sini.

Catatan pertama adalah dari kelas CV, tanggal 6 Februari, di bawah:



From: Masyhur Hilmy
To: <pm5im@yahoogroups.com>; 
Subject: [pm5im] Risalah Kelas Alumni PM 6 Februari 
Sent: Thu, Feb 6, 2014 12:23:58 PM 

Hikmah kelas CV, dengan Pak Taufiqurrahman[1].

Karena nganggur lagi nungguin temen, saya pengen nulis tentang hari ini. Saya datang ketiga, setelah Pak Taufiq dan Mesa, barengan masuknya sama Khai.

Yang didapatkan hari ini sebenernya banyak yang udah pernah dibahas di banyak tempat, termasuk pas OPP kemaren. Tapi yah kan, orang banyak yang Jumatan 52x setahun, isinya sama-sama aja tapi ga pernah sepi pengunjung, karena yang dibilang belum tentu diamalkan, jadi ya anggap aja ini kayak gitu. Tapi kalau yang Jumatan belum mengamalkan apa yang dikhutbahkan, mari kita mengamalkan yang bermanfaat bagi kita dari kelas CV tadi.

A. Nama file, pertama kali si Human Resource (HR) lihat CV kita.
Dos
1. Taruh nama kamu di nama filenya
2. Taruh kapan CV itu dibuat.
Contoh - "CV Masyhur Jan2014".
Don'ts
1. Tidak taruh nama kamu. Nanti kalau disave jadi ga ada bedanya sama ribuan pelamar lainnya.
2. Kasih nama hanya "CURRICULUM VITAE" saja.
3. Kasih waktu CV dibuat tapi tanpa nama.
Contoh - "Curriculum Vitae Januari" (kecuali kalau namamu Januari)
4. (Yang ini bukan dari Pak Taufiq), attach worm atau trojan yang dikasih nama "Curriculum Vitae". Tapi marilah kita bersyukur ada teknologi namanya antivirus.

B. Mukadimah
Dos
1. Kasih nama kamu di awal, dengan huruf yang lebih tebal dan besar dari tulisan lainnya. Biar keliatan itu CV siapa.
2. Langsung kasih alamat (Jl. Galuh IV no 2, misalnya), no. telp (Sebaiknya kasih no. telp yg memang dipegang. Kalau telp rumah, pastikan yang bakal angkat tahu, jangan "Halo? Aziz.. ngga ada yang namanya Aziz di sini.... Oooo Mas Mansur*!" *(no one ever calls me Aziz, and very rarely do people call me Masyhur. Mansur and Maskur compete for my name's top-two misspellings)), dan alamat email (jangan yang aneh-aneh). 
3. Boleh kasih foto, apalagi kalau yang rileks dan menjual. Tip; foto yang buat profil IM itu bagus-bagus lho, atau paling ga ya acceptable lah kalau ga bagus (sambil menghela nafas lihat profil sendiri). Ga perlu juga fotonya ukuran 5R close up, kecuali kalau kamu daftar jadi SPG rokok. Not that the profession is demeaning, being SPG, especially because they're easy on the eyes, tapi kok ya Putra Putri Terbaik Bangsa jadi SPG rokok. (kalimat terakhir jelas bukan dari Pak Taufiq, secara dia pernah di Philip Morris gitu).
Don'ts
1. Mengulangi informasi yang tidak perlu. Contohnya udah ada nama besar di atas, di bawah dikasih lagi heading Personal Information, trus ada field 'name'. Informasinya redundant
2. Menaruh informasi fisik yang ga menambah value, seperti tinggi badan dan berat badan (Again, kecuali kamu mendaftar jadi model. Kak Ria cocok nih kayaknya, excellent health pula).
3. Religion, marital status taruh aja di bagian akhir CV kalo mau dimasukin. Kalo yang bingung agamanya apa ya ga usah dimasukinlah, kecuali diminta.

C. Setelah Mukadimah.
C.I. Skills
Don'ts
1. Menaruh Proficient in MS Windows. Lah, murid-murid kita yang baru pegang laptop juga bisa MS Windows. MS Word sama aja, toh lulus dari universitas bikin skripsi pake MS Word kan? (Astro ITB malah harus pake LaTeX, lewat lah MS Word). 
2. Jangan menaruh menial/clerical works di skill. Kecuali apply jadi sekretaris. Meski kerjaannya bakal menial juga. Jauh-jauh ke Kyoto cuman jadi operator PADAMU NEGERI. Berbakti pisan.)

C.II Career objectives (tapi ga harus ada sih)
Don'ts
1. Kebanyakan buzzword
2. Terlalu panjang. (Kalau paksain mau panjang, kasih tl;dr aja kali ya)
Dos
1. Tiga baris cukup.
2. Sebut bidangnya dan kasih gambaran kenapa mau job ini. (What I did: lihat requirement-nya, buka tesaurus, masukkan kata keren yang setara)

C.III Summary (recommended buat ada)
Dos
1. Highlight apa yang menjual dari diri kamu. Contohnya, lulusan terkemuka dari Institut Tukang Belanja IPK 3,9997/4.00, berpengalaman menjadi duta budaya di 50 event internasional.
2. 3 bullet points cukup.

C.IV Competencies (dimensi kepemimpinan, kalau bahasa IMnya)
Don'ts
1. Ngelist kompetensi tersebut kita punya, tapi ga dibuktikan. Daripada buang-buang tempat, taruhlah kompetensi yang sesuai di atas elaborasi work experience. Kenapa? 
a. Makan space yang bisa dipakai buat hal lain. 
b. Ngasih umpan buat interviewer menyerang buat ngebuktiin kompetensi yang udah diklaim dimiliki. Tapi sebaliknya, kalau punya jawaban bagus buat itu sih berarti gapapa kali ya. ("Apa bukti kamu punya strong analytical skill?" "Saya menganalisa korelasi kesuburan tanah dengan sistem autokrasi tersembunyi masyarakat adat di penempatan saya di Pulau Solor dengan metodologi randomized controlled trial [2] yang membuat saya bisa mengambil kesimpulan ...." Maybe you'll be fine then.)

Do's
1. Ngelist kompetensi yang kita miliki, trus langsung dibuktikan. Contoh
Excellent in interpersonal and intercultural communications
- Facilitated roundtable sessions between Kapolsek, Headmaster, and UNDP observer in SDN Onu Bubung to resolve accussation of organized efforts to inflate students' marks during National Examination. 
2. Taruh yang seperti di atas di tiap work experience.

D. Education
Dos
1. Kalau dari universitas ternama, jual universitasnya.
2. Kalau bukan dari universitas ternama, yang tabah ya (Obviously ini bukan dari Pak Taufiq). Bisa juga education ditaruh di paling belakang setelah work experience. Pak Taufik kasih liat CVnya Furiyani, which is a good CV example, yang pendidikannya dikasih di paling belakang CV.
3. Kalau judul tesisnya keren, bisa juga dituliskan.
4. Kalau dapat beasiswa, bisa juga dituliskan. 

Don'ts
1. Taruh riwayat yang terlalu lengkap, dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, D3, S1, S2. Kalau misalnya S1 ya cantumkan S1 dan SMAnya saja cukup.


E. Work Experience.
Dos
1. Put some meat to explain what exactly do you do. Jadi PM? 4 bidang tugas, dengan STAR.
2. Mulailah penjelasan dengan kata-kata kerja positif. Organized, Facilitated, Promoted, Advocated, etc. (tesaurus adalah dinosaurus teman baikmu). Misalnya: Organized local youth community to volunteer as reading tutors during extra lessons for grade 1-3 students.

Don'ts
1. Tidak menjelaskan di kerjaan itu ngapain. 
2. Menjelaskan dengan kata-kata yang tidak pas: Provoked the headmasters to improve teachers' capacity. Kesannya jadi biang kerok begitu dan provokator.
3. Menjelaskan dengan kata-kata yang loyo: Typed the lesson plans for a whole semester. Ngoyo tapi ngenes dan kasian.

Terima kasih sudah membaca sampai bawah!

Salam hangat,
Masyhur

---
[1] Beliau adalah senior di Indika Energy dan salah satu mitra Indonesia Mengajar yang sudah berpengalaman dalam hal berinteraksi dengan berbagai macam karakter manusia. Terima kasih ilmunya, Pak!
[2] Disclaimer/Penyangkalan: tulisan ini tidak saya buat dengan kapasitas saya di tempat kerja sekarang, dan tidak mewakili pandangan institusi saya sekarang. Contoh ini jangan diambil seriusnya ya.

Saturday, September 13, 2014

On reading

"I've heard of people like you," I said. 

I was with Patrya, and we were two of the last few people who still stayed at the office, waiting for a scheduled call from Boston. The call was moved to an hour later than its usual schedule, so we had pretty much run out of ideas how to kill time until then. I guess that's why he asked me then for a recommendation for a fiction to read. 

Giving book recommendation to someone is a tricky business. You need to know his taste of reading, because otherwise you'll only be forcing your preference on him—and that's exactly what I did. I rattled off some of my favorites books and series, and if you know me, you won't be much surprised that fantasy is the prevailing genre. That was before I caught myself and asked him what fiction he liked reading. That was when he answered he don't really read fiction at all. 

"I've heard of people like you," I responded. "So how do you grow up?"
"Well, I guess," he said. 

It was such an outlandish notion that it took me some time to wrap my head around it. 

Book, stories, and fiction were such a large part of my upbringing that sometimes it's hard for me to imagine other people not having the same experience. How does one learn camaraderie without reading Enid Blyton's Five? How does one marvel at technology without having Doraemon whets one's appetite? How does one grow up without being enchanted by the wizardry (and learn about rewards for bravery) from the Harry Potter universe(1)?.

No, I did not grow up with a gang of friends who were as into books as I was. But as with my students in Banggai, I had always assumed it was a question of access—there weren't many public libraries(2) and most of my friends' parents were not as appreciative of literature as my parents were. 

***
In retrospect, though, I guess a lot of people think the same way when they make my acquaintance. I-ve-heard-of-people-like-you. Especially in Batui 5.  

"Kalau Pak Masyhur dulu bebaca terus ya Bu," my former students quipped to Ade, who dutifully passed along that comment to me every time we met. 

Well, I hope at least my habit encouraged them to pick up reading even after I left. 

"Pak Masyhur, pagi bebaca, siang bebaca, malam juga masih bebaca. Te capek, Pak?" said Bu Wati, who often passed my porch when she was walking Ian around. What can I say? It's the cornerstone of our civilization.

And hey, there was blessed little else to do after all. 

***
And with little else to do to wait, I observed Patrya started to sample Ayn Rand. Bereft of a recommendation from me that intrigued him, he tried exploring households names. 

I'll just crack open a Brandon Sanderson.

---------------------------
(1) Pair that to the fact that my reaction hearing Lee's crush has never read Harry Potter ("SHE HAS NEVER READ HARRY POTTER??") was for all purpose, identical to Karmen's and Kirana's you can see why growing up without Harry Potter was inconceivable. 

(2) the few book rentals that were around did have those ghastly religious comic book depicting scenes and stories of tortures in hell for sinners. I read those too, of course. How else do you develop an appreciation of propaganda based on fiction? I was too small to understand political propaganda. 

Monday, September 1, 2014

Tentang asal nama mata angin dan Masungkang

Saya tidak akan pernah lupa dengan Masungkang.

Tidak hanya karena lokasinya bertetanggaan dengan desa penempatan saya selama setahun di Banggai, tapi juga karena kali pertama saya ke sana bersama teman-teman pengajar muda yang lain, perjalanannya tidak bisa tidak dikenang[1].

Jalannya terjal, tentu. Berliku, sudah pasti. Berdebu? Kami hanya bersyukur waktu itu kemarau, daripada motor terbenam dalam lumpur?

Hamparan sawah berganti kelapa sawit setinggi dua-tiga meter―penanda sawit ini belum lama ditanam. Hampir tidak ada kanopi hutan yang melindungi jalan dari sengatan terik matahari sepanjang perjalanan belasan kilometer dari jalan poros―jauh berbeda dengan jalan ke desa saya jika melewati Ondo-ondolu, saya bisa mendapati biawak, burung aneka warna, kera yakis, dan banyak lagi.

Ketika kami masuk ke desa itu, deretan rumah dengan atribut khas Bali menyambut. Tempat-tempat sesaji di depan rumah mempertunjukkan persembahan mereka hari itu. Tapi tujuan kami adalah SDN Inpres Batui 4 Masungkang, sekolah yang dipimpin Pak Ikbal Laamu yang mengundang kami bertandang untuk berkenalan dengan murid-murid di sana.

Jujur saja, kami tidak mempersiapkan materi spesifik, pun tidak mengantisipasi bahwa Pak Ikbal secara de facto menghentikan KBM hari itu agar semua muridnya kebagian "diajar" oleh pengajar muda. 70-an murid lintas jenjang, berkumpul sesak dalam satu ruangan―uh oh.

Hanya Mbak Yanti yang bisa pasang ekspresi "Hore banyak anak!" dan "Aduh, peraga yang disiapkan ada sama Ika yang belum sampai karena bannya bocor!" di waktu bersamaan. Dan tetap girang.
Untungnya mereka punya peta, jadi kami bisa memulai dengan tebak-tebakan lokasi mereka berada, yang selalu menggelitik karena tebakan-tebakan pertama mereka meleset jauh dari Pulau Sulawesi. Kami pun bisa bercerita asal daerah kami dari Jawa dan Kalimantan, dan asal orang tua mereka yang kebanyakan transmigran dari Pulau Bali.

Hore! Ada yang menebak betu--Nak, itu kenapa kamu tunjuk Teluk Tomini? Kita belum tenggelam karena pemanasan global kok.
Tentu saja, mencoba memahami peta sangatlah sulit tanpa paham arah mata angin. Maka kami lempar panggung pada Mbak Yanti, yang lalu mengajari mereka arah mata angin, dengan nyanyian[2].

Mata angin adalah jarum pedoman
Garis yang menunjukkan arah suatu tempat
Timur, tenggara, selatan, barat daya
Barat, barat laut, utara, timur laut
Mari kawan belajar petunjuk arah
Mata angin yang harus kita tahu

Bernyanyi bersama Ibu Yanti, dalam hitungan ketiga, yak! (kontribusi saya adalah nulis lirik lagunya di papan tulis)

***

Kini hampir satu tahun berselang sejak kami ada di Masungkang, perhatian saya tertumbuk pada sebuah artikel di majalah Tempo edisi 25 Agustus 2014 tentang akar kata-kata yang kita gunakan untuk menyebutkan nama-nama arah angin.

Tahukah Anda mengapa kita menyebut utara dengan kata utara dan selatan untuk arah yang sebaliknya?

Utara berasal dari kata serupa di bahasa Sansekerta. Kita menjiplak saja, karena memang tak ada salahnya. Tapi arah utara dulu juga disebut dengan kata 'laut' karena di era Sriwijaya, dari Palembang ke utara berarti ke laut.

Barat pun berasal dari kata serupa di bahasa Sansekerta. Kita sudah nyaman dengan kata serapan.

Timur, anehnya diserap dari bahasa Melayu. Tak tahulah kenapa.

Selatan juga berasal dari bahasa Melayu, namun dari era setelah pusat Sriwijaya berpindah ke Malaka. Dari Malaka, arah sebaliknya dari utara adalah menuju Selat Malaka. Tidak aneh kalau arah ini lalu disebut selatan.

Bagaimana dengan arah antaranya?

Timur laut dan barat laut adalah peninggalan era Sriwijaya Palembang lagi. Antara timur dan utara sudah jelas asal-usulnya: timur+laut(utara). Begitupun antara barat dan utara: barat+laut(utara).

Meskipun demikian, ada juga alternatif akar kalimat yang lain. Barat laut bisa merujuk arah yang harus dituju dari Malaka untuk menuju lautan Samudera India. Sementara itu, usai lewat Singapura dari arah Malaka, timur laut adalah arah yang harus dituju untuk menuju Laut Cina Selatan.

Untuk menjelaskan barat daya, kita harus kembali ke Palembang di era Sriwijaya. Waktu itu, lawan kata laut (utara) adalah daya yang berarti daratan yang ada di arah selatan. Jelas sudah, antara barat dan selatan dirujuk dengan barat daya.

Seharusnya pun antara timur dan selatan kita sebut dengan timur daya, tapi entah kenapa justru kita punya kata tenggara.

Sampai di sini artikel Jennifer Lindsay di Tempo tersebut tidak lagi memuaskan. Satu hipotesis yang ia ajukan adalah tenggara berasal dari kata bahasa Jawa tengger, yang berarti luas. Tapi ini kurang meyakinkan sih menurut saya.

Tapi saya tetap suka dengan artikelnya yang membuat saya juga tahu bahwa asal-usul kata orientasi adalah orient yang berarti timur. Ini karena dulu di zaman pertengahan, arah atas untuk peta adalah arah timur. Orientasi, mencari arah, sama juga dengan mencari arah timur.

Pengetahuan baru, dengan bonus nostalgia deng an anak-anak di tempat saya pernah bertugas menjadi pengajar muda, bagaimana saya mau tak suka?

----------------------------
[1] Apalagi habis itu kami pulang pake berantem--entah hal remeh apa yang kami berantemkan waktu itu tapi pokoknya seru deh!
[2] Jelas bukan keahlian saya, ngajar nyanyi.

Sunday, August 3, 2014

Ten years ago

Sepuluh tahun lalu, gue adalah bocah ini:


I wish I could say that being ten years older than I was has made me wiser and more mature. It hasn't―or at least if it had, it's not apparent to me.

What I can say with certainty is that some things changed very little. If I used to receive mails from the young readers of An Nisa (no, really), now I receive mails from the young kids in Batui 5.

If I used to be graced with people in my surroundings who have more faith in me than myself―I'm thankful that I can still say the same for my present self. Because what buoyed me ten years ago was really a result of so many people willing to take the extra mile, peppered with advantageous circumstances.

For starters, there was the fact that 2004 was only the second year for Indonesia to send delegates to the IAO. This led to not too many schools being privy to the existence of this competition. In district-level selection, there was only four students from two schools competing in high school level. One of them was me.

And I was only there because the more talented students didn't make the cut―the age criteria where the students shall be younger than 17 y.o. on August 2004 was against my school's top physics students. Oh, I'm pretty good at high school level physics, mind you. But I was (a) more interested in chemistry, (b) boggled by the perceived difficulty of physics olympiad problems, and (c) awestruck by the genius of IPhO delegates as reported by Kompas year after year. No way I could make it to their ranks.

I'm always good at talking myself down. Why not? It is much less risky to predict doom and gloom than to predict that things will work out fine.

But in this case it's actually rational. Of thousands of students vying to be delegates, they only take 6 students each year. The odds are definitely slim.

And rational thoughts are the most effective cushion against the inevitable crushing disappointment. At the very least, if I were to be disappointed, I won't get crushed, inevitable as they are.

Just like the time when the awards for a district-wide high school level speech contest in local university are to be announced. I entered the contest hopeful, but as they were announcing the awards from the 10th place up, the flutters of the butterfly wings in my stomach grew stronger.

"10th place wouldn't be bad―but there's no way it's me―oh I hope it's me―but it's the bottom―I hope I got better result―oh it's not me,"
"8th place is still on the lower half of the awardees―but there's no way it's me―oh I hope it's me―or could I get a better resul―oh it's not me,"
"5th place is respectable―but there's no way it's me―could it be m―oh it's not me,"
"Oh man how awesome would it be if I grab the runner up title―there's no way it cou―see? It's not me,"
"Oh―I got nothing."

This was the recurring theme of any award announcement (or any post-debate oral adjudication) that I found myself in. Including, the announcement of the national olympiad result.

I had discounted the fact that I was ranked in the top three during the provincial selection and so it was with many butterfly wings aflutter that I was swinging between hope and dejection during the announcement of the bronze and silver medalists. Only the gold medals remain unannounced, and there was only three of them.

I thought to myself, "There's no w―wait, what?"

I registered my name being called. Now that's unexpected.

***

It was only the beginning, because I was then invited to the training camp where out of seven gold and silver medalists, one will be picked to complete the team to be send to represent Indonesia. Jaya had secured a ticket for himself, topping the result for both theoretical and observational rounds at the national olympiad.

You know, I think it was him that prompted this note. He's getting married next weekend to Stefani (whose photo was featured in a book titled "Prestasi Gemilang Anak Bangsa"). I was chuffed when I heard the news―I wish nothing but happy matrimony bliss for them.

***

In retrospective, I actually had fun during the training―learned lots of new stuff, breathed lots of fresh cold air of Lembang, enjoyed the camaraderie, and generally despaired very little. The competition between the seven of us hardly felt like a competition. I was grateful for having the privilege to experience that.

When the team was formed with me among the delegates, we spent our last week in Jakarta, making ourselves familiar with the northern sky constellations at the planetarium. And because we can't monopolize the planetarium, the sessions ended late at night--and we would walk along the Cikini road to get to our lodging.

I guess I was feeling nostalgic, because last month I took a detour from my usual route home to amble along the same route. And it speaks so much to me how funny life is.

Ten years ago, every step that I took strengthened my resolve to never choose to live in this very city.

Ten years after, look where I wound up at.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Related post:  Seven years ago.