Saturday, May 28, 2016

Jemu


"Seperti inikah dulu di desa tempatmu mengajar dulu? Pasti sangat menjemukan," komentar si Bapak yang ikut bepergian bersama saya ke tengah Pulau Flores.

Apabila saya menganggap alam itu membosankan, maka ya: hidup satu tahun di desa tidak tertahankan. Tapi bagaimana bisa saya merasa biasa memergoki kerumunan kera bersiaga di tepi jalan antardesa? Sementara itu, di laut yang tak pernah jauh, saya bisa berenang berdekatan dengan ikan-ikan badut jingga. Desaku mendekatkanku dengan alam yang sedikit dijamah manusia.

Jika saya tidak punya kesempatan bertualang, maka ya: enggan saya hidup satu tahun di desa. Namun ketika saya dapati bulu kuduk meremang karena harus berkendara di tengah kegelapan, saya sadar di sini petualangan gampang didapatkan, meski sekadar dari perjalanan ke desa seberang. Desaku membuat nafas memburu.

Seumpama saya menganggap sepi itu membosankan, maka ya: hidup satu tahun di desa sangat menjemukan. Tapi desaku tak pernah sepi. Anak-anaknya sigap untuk menjadi riuh agar aku bangun dari tidur siang, mungkin karena akhirnya mereka tidak merasa belajar itu membosankan. Desaku ramai.

Sekiranya bekerja di desa itu tidak menantang, maka ya: mengajar satu tahun di desa akan membuatku mengharap pulang. Akan tetapi, mengajar membuatku tahu betapa sulitnya terus menjadi seseorang yang bisa digugu dan ditiru. Lebih dari itu, mengajar mempertemukanku dengan anak-anak yang haus untuk selalu belajar hal yang baru. Desaku memberi tempat harapan bertumpu.

Seandainya saya hidup di desa tanpa teman bercerita, maka ya: hidup bosan satu tahun tentunya sangat merana. Memang ada masanya saya kebingungan dengan cara penduduknya berbahasa. Namun saya akhirnya sedikit-banyak ikut terbiasa. Pun saya selalu bisa bercengkerama dengan lima teman yang pribadinya luar biasa. Desaku memberi keluarga baru.

Desaku gagal membuatku merasa jemu.