Sunday, October 30, 2016

Gerhana

Awal Maret, saya berada di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kota ini ada di jalur lintasan Gerhana Matahari Total 2016 yang bergerak menyisir Kepulauan Indonesia dari Palembang dan Balikpapan, ke Poso dan Maba. Pada tanggal 9 Maret, bulan akan menutupi cakram matahari untuk mendesakkan malam ke langit pagi.

Jalur totalitas gerhana
Ini adalah kali pertama saya akan mengamati gerhana matahari dengan mata kepala sendiri. Tahun 2009, perjalanan saya ke Banten untuk mengamati gerhana matahari cincin berakhir sia-sia. Awan mendung menggagalkan rencana observasi. Di tahun 2012, saya meninggalkan Jepang terlalu dini, tiga bulan sebelum gerhana cincin melintasi sisi-sisi tenggara pulau-pulau utamanya.

Gerhana adalah peristiwa langka. Satu tahun hanya bisa ada empat hingga tujuh kali gerhana, dan lebih banyak di antaranya yang hanya merupakan gerhana penumbra yang tidak kasat mata. Irisan lintasan bumi dengan umbra bulan lebih jarang, dan untuk suatu tempat yang pernah dilintasi gerhana matahari, biasanya ada jeda waktu yang lama hingga peristiwa yang sama kembali berulang. Terakhir kali GMT diamati di negeri ini, Harmoko masih menjadi Menteri Penerangan, Soeharto masih ada di puncak kekuasaan. Saya baru berusia dua bulan di tahun 1988.

Banyak yang telah berubah, tentu saja. Kini masyarakat tidak lagi disuruh bersembunyi. Stasiun televisi berlomba-lomba menampilkan hitung mundur hingga waktu okultasi matahari.

Di Banggai, reservasi hotel sudah tidak mungkin dicari. Banyak wisman Barat berkeliaran di pusat keramaian. Mereka yang berkulit terang tampak mencolok, menarik perhatian saat menyeberang jalan. Pemkab memusatkan aktivitas perayaan gerhana di Pulau Dua. Mereka sekaligus menggelar Festival Babasal untuk menampilkan kesenian daerahnya. Pentolan-pentolan DPRD justru membuat acara tandingan di pusat kota. Festival Teluk Lalong disiapkan untuk memamerkan aneka makanan dan kerajinan. Semua antusias mempromosikan budaya, hampir tak ada yang ingat gerhana bisa jadi media pembelajaran IPA.

Saya memilih menyingkir dari hiruk-pikuk kota. Sehari menjelang gerhana, saya menuju Pegunungan Batui. Desa-desanya lebih sepi. Saya susun rencana observasi dari sekolah dasar di desa Trans Batui 5. Letaknya pas di atas bukit. Dari sana, vista timur terbentang terang.

Langit cerah ketika hari gerhana tiba. Ini pertanda bagus.

Saya dan dua teman seperjalanan menuju sekolah pukul setengah delapan kurang. Kami ditemani oleh guru-guru yang mengajar di desa itu. Seorang guru membawa sekarung rambutan dan beberapa ikat durian ke mushola. Ketika kami sampai, anak-anak berkerubut, lalu dihalau: mereka harus sembahyang sebelum menggasak durian. Kami tengok langit dengan kacamata gerhana: matahari sudah terlihat berbentuk sabit. Bedug dipukul, sholat gerhana dimulai.

Tidak semua warga dan anak-anak datang ke mushola. Hanya separuh yang Muslim saja yang ikut sholat gerhana. Di saat yang sama, mereka yang Hindu melaksanakan Amati Geni. Sekolah juga libur untuk Nyepi.

Selesai sholat gerhana, langit masih terang. Namun anak-anak telah siap dengan alat bantu mereka. Sebagian membawa kamera lubang jarum. Sebagian mengantre giliran memakai kacamata gerhana. Saya arahkan cahaya pembiasan binokular saya ke dinding mushola. Sabit matahari terlihat jelas makin cekung.

Pukul setengah sembilan, langit meredup. Pagi berasa senjakala dan angin dingin berembus. Temaram bayangan pohon di tanah dipecah oleh pola-pola sabit matahari. Malam datang.

Saya melepas kacamata gerhana saya ketika bulan seluruhnya menutupi sang surya. Langit gelap, dengan cincin berlian raksasa bercokol di angkasa. Korona matahari memang hanya nampak kilaunya ketika gerhana sempurna. Merkurius dan Venus menjadi tampak, mengarak matahari ke zenit. Dekat ufuk barat, Mars bertengger di rasi Scorpio. Kentongan ditabuh bertalu-talu.

Totalitas gerhana tidak berlangsung lama. Tidak sampai tiga menit setelahnya, bulan beranjak. Cincin berlian rusak, dan langit kembali berangsur terang. Gerhana telah usai. Saya menghela nafas panjang, sadar ini adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Gerhana matahari total di desa lain di Kabupaten Banggai. Foto Dhenny dari sini.

------------------------------
(Tulisan ini dibuat untuk tugas Kursus Narasi Pantau. Editing dibantu oleh @Hning.)

No comments: