Friday, December 2, 2016

Lada

Irwan menantang saya untuk makan ayam Richeese pedas level lima—saya iyakan dengan gembira. Lima potong sayap kemudian, lidah saya bergetar dan keringat timbul di kepala. Saya berkata, "Ini nirwana!"

Mbak Lina datang berdecak, "Ini bahaya ngga?"

Saya jawab, "Tentu, Mbak. But what's the point of living if we don't live dangerously?" Teman-teman lain tertawa dan bersorak. Freida menatap prihatin. 

Anak-anak kantor memang sudah hafal kelemahan saya. Ini memang kentara dari habisnya Sambal Bu Rudi dalam hitungan hari, antusiasme saya untuk pergi ke Indomie Abang Adek, dan kecepatan saya menandaskan Samyang yang dibawa Donghee. Begitu sambal jadi topik wicara, air liur saya terbit seketika. 

Ini tidak berarti saya kebal, kok. Perut saya tetap jeri—dan sekali dua kali saya terbungkuk-bungkuk di atas kloset meratapi kebodohan diri. 

Tapi biasanya tidak separah itu juga untungnya. Paling telapak tangan saya saja yang berdenyut sebagai protes harus ikut disiksa. Dan karena cuci tangan saya tidak menyeluruh. Kalau sudah begini, saya harus ingat untuk tidak menyentuh-nyentuh tubuh. Tak sengaja mengucek mata berarti mengundang siksa. Mengusap pipi membuat wajah serasa ingin dikuliti. 

Maka saya tidak terbayang bagaimana perihnya mereka yang dipaksa merancap dengan cabai giling. Mereka pikir penis itu ulekan sambal, apa ya? Gila. 

Tapi terlepas masalah susilanya, ini membuat satu pertanyaan bahasa terbersit di kepala saya. Kalau KBBI menyebutkan masturbasi dengan sabun sebagai sabsab, etiskah jika saya usul sebutan merancap pakai cabai dengan cabcab?

(Tidak apa-apa, mungkin memang baiknya abaikan saja.)